Jumat sore tanggal 25 Agustus, sekitar setengah lima, kami berangkatdari rumah menuju Watutapak. Anak pertama baru pulang sekolah, dan jadi baru bisa berangkat sore hari. Memori dari kunjungan pertama kami ke sini mengisi pikiran saya. Karena waktu itu kami camping di Watutapak sendirian, padahal itu baru kali kedua kami camping, belum terbiasa dengan suasana sepi.
Kali ini, suasana sedikit berbeda. Kami ndak sendirian. Beberapa rombongan sudah datang duluan, beberapa mobil di area atas dan satu kelaurga menggunakan motor di area bawah. Kami memilih area bawah, dan setelah kurang lebih satu jam setelah sampai tenda kami sudah berdiri dan bisa digunakan. Kami sholat Maghrib, lalu masak-masak. Istri saya membawa daging sisa Idul Adha, dan kami menikmati makan malam dengan pemandangan kelap-kelip lampu kota.
Seiring malam semakin larut, saya menyalakan tungku yang kali ini saya isi dengan briket, biasanya saya menyalakan api unggun dengan kayu bakar. Ternyata, briket memang lebih oke, 1kg bisa tahan hingga tiga jam, meskipun apinya ndak seseru api unggun sih.
Kira-kira pukul 9 malam, kami mendapat kejutan. Langit tiba-tiba diterangi oleh kembang api yang cukup lama durasinya. Mungkin sedang ada pesta kembang api di Tebing Breksi. Lumayan, dapat tontonan. 😀
Ketika jam menunjukkan pukul setengah 11, saya menambahkan 1kg briket lagi untuk menghangatkan suasana ngobrol dengan istri di luar tenda. Udara cukup dingin, sekitar 20 derajat Celcius menurut aplikasi cuaca di smartphone.
Namun, keheningan malam terganggu pukul 12. Rombongan beberapa mobil solar tiba dan, sayangnya, mereka ndak mematikan mesinnya setelah parkir. Kasian tenda sebelah yang sebelahan persis dengan mobilnya terbangun semua, padahal sudah tidur cukup lama.
Pagi harinya, udara masih stabil di 20 derajat Celcius. Kami menikmati pemandangan indah sambil minum kopi dan ngemil. Setelah itu, kami masak untuk sarapan.
Akhirnya, pukul 10 pagi tiba. Panas mulai menyengat dan kami memutuskan untuk meninggalkan Watutapak.
Kami pulang dengan hati penuh syukur.